Selasa, 05 September 2017

Gua Gembul Konon Tempat Berkumpulnyta Wali Songo

Gua Gembul, Tubab
Gua Gembul dikenal sebagai tempat keramat. Konon, di tempat tersebut, para Wali Songo berkumpul untuk menjalankan misi penyebaran agama Islam diu Tanah Jawa. Gua Gembul terletak di Desa Jadi, Kecamatan Semanding, Tuban, Jawqa Timur.   

Lokasinya begitu tenang dan pengunjung yang datang ke sana juga selalu tampak menikmati keindahan pesona alam yang ditawarkan oleh kawasan Petilasan Gembul. Pengunjung yang datang tak hanya berasal dari Tuban saja melainkan dari kota-kota lain. Sebagan besar pengunjung yang datang ke sana memiliki sebuah tujuan yang sama yaitu mengalap berkah atau mengharapkan doanya terkabul.
Keyakinan akan terkabulnya doa-doa mereka, tentu saja dilandasi oleh banyaknya cerita dari pengunjung yang mengaku doanya terkabul begitu selesai berdoa di tempat keramat di Tuban
tersebut. Oleh karena itu tak heran jika kawasan Goa Gembul begitu ramai orang-orang yang memanjatkan doa pada Tuhan melalui perantara Petilasan Gembul.

Mereka yang memiliki hajat, biasanya akan membuat nadzar (janji yang harus ditepati ketika doa mereka terkabul) sambil memanjatkan doa di sana. Jika doa mereka terkabul, maka mereka harus segera menepati nadzar mereka, namun jika tidak menepatinya maka musibah akan segera “mendatangi” mereka. Banyak dari pengunjung yang baru melakukan nadzarnya setelah mendapat musibah yang tak disangka-sangka.


Petilasan Gembul memang dikenal sebagai tempat mistis. Sebagian dari masyarakat masih meyakini bahwa benda-benda peninggalan para Wali masih ada di kawasan Goa Gembul. Namun untuk mencarinya cukup sulit karena konon benda-benda pusaka peninggalan para Wali itu dijaga oleh jin muslim jadi agar tidak ada yang bermasud jahat saat berada kawasan keramat tersebut.


Jeng Asih, Ratu Pembuka  Aura dari Gunung Muria




Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan

08129358989 – 08122908585      




Nuansa Mistis Petilasan Walisongo Di Gunung Sebatur

Lebatnya pepohonan besar menjadi pemandangan utama, sesaat setelah melalui jalan yang mulai beranjak naik di dusun Kalibuko. Sebuah pemandangan yang cukup sepi namun sejuk karena pepohonan juga tempat yang berada dalam ketinggian bukit menoreh. Dari tempat ini bisa juga memandang tingginya perbukitan, lembah dan hijaunya pepohonan yang masih alami.

Lokasi tersebut, terdapat sebuah situs religi yang pada mulanya menurut penduduk setempat adalah sebuah tempat yang dulu pernah menjadi persinggahan Walisongo atau yang terkenal dengan tokoh Sunan kalijaga.
Nampak beberapa pemandangan yang tak lazim terlihat. Pemadangan sebuah tatanan batu yang terletak di antara dua batang pohon. Sebuah tatanan batu-batu kecil dan agak besar yang nampak terlihat sebagai sebuah tempat semedi. Rupanya setelah bertanya pada pak Bakir sang juru kunci diketahui bahwa tempat itu dulunya dipercaya sebagai petilasan dari Sunan Kalijaga yang bersembahyang pada tempat ini.
Menurut Juru kunci, Sunan Kalijaga berada lama ditempat yang dikenal sebagai gunung Sebatur ini. Sampai-sampai dusun yang pada waktu itu hanya dihuni oleh 7 keluarga saja turut menjadi pengikut dari Sunan Kalijaga ini. Gunung Sebatur inilah yang lantas dijadikan sebgai tempat bagi Sunan Kalijaga untuk berdakwah dan bersembahyang. Sampai saat ini, banyak sekali yang datang dari berbagai tempat untuk berziarah di tempat ini. Pada saat tertentu semisal “nyadran” sudah barang pasti tempat ini pun menjadi salah satu tempat religius yang dikunjungi. Saat saparan misalnya, tempat ini biasa dijadikan sebagai tempat melakukan kegiatan yang menjadi semacam ritual rutin, yakni kegiatan menyembelih hewan yang lantas dimasak bersama di tempat ini juga. Hal ini nampak semakin jelas dengan adanya beberapa kuali (kendil)dari tanah yang berada di sini.
Menurut pandangan ghoib atau mistis, petilasan gunung sebatur ini berbentu sebagai bangunan Masjid lengap dengan berbagai arsitektur masa lampau. Sebuah cerita mistis yang tentunya hanya dapat dilihat oleh orang-orang tertentu.

Sebuah wahana wisata religi bagi Anda yang ingin menenangkan serta mengendapkan hati serta fikiran yang sibuk oleh aktifitas sehari-hari. Memang tempat ini berada pada jarak yang agak lumayan dari kota wates, kulon progo. Melalui jalan yang agak turun naik dari pasar kokap, mengambil jalan yang lurus naik menuju gunung kukusan. Hanya jangan khawatir juga karena jalan sudah beraspal sehingga aksesnya tentu lebih mudah. Memang tak terlalu luas tempat ini dalam pandangan mata kita, hanya menurut juru kunci, luas daerah ini bisa menampung ribuan orang secara bersamaan dan disinilah keanehan yang dimiliki tentu saja.
Bagi Anda yang datang ke tempat ini juga diharapkan jangan mengambil batu-batu yang ada disekitar tempat ini lantaran berbagai mitos menyertai bebatuan yang ada. Bisa-bisa hal buruk terjadi apabila tanpa ijin mengambilnya terlebih bila bukan berasal dari keturunan Kalibuko ini. Cukuplah ini menjadi tempat bersembahyang memohon pada kekuasaan Tuhan melalui leluhur yang tentu dipercaya telah berada lebih dekat dengan Tuhan di Surga.  
Jeng Asih, Ratu Pembuka  Aura dari Gunung Muria




Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan

08129358989 – 08122908585       


Minggu, 03 September 2017

Kahyangan Dlepih, Tempat Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul Memadu Kasih

Kayangan Dlepih
Menurut masyarakat setempat, Konon jika berada di kawasan Kahyangan Dlepih tidak boleh mengenakan pakaian warna hijau pupus dan kain bermotif parangklitik.

Bagi yang meyakini tahyul, apabila larangan (pamali) ini dilanggar maka yang bersangkutan bakal kalap (tewas). Begitu disakralkan, tempat ini kerap dimanfaatkan orang untuk meditasi dan ngalab berkah pada malam Selasa Kliwon juga Jumat Kliwon. Terlebih di malam menjelang pergantian tahun Jawa (bulan Suro). Banyak pendatang dari luar daerah, terutama dari daerah Yogyakarta dan Surakarta, bertirakatan di sana.

Kesakralan hutan Kahyangan Dlepih kian terasa manakala dijumpai beberapa petilasan serba batu. Salah satunya, petilasan Selo Gapit atau Penangkep berupa dua buah batu besar yang pada bagian atasnya saling bersentuhan mirip gapura.

Ada juga petilasan yang disebut Selo Payung karena bagian atasnya melebar menyerupai payung. Ketika didekati, tercium jelas aroma bakar dupa. Para pelaku ritual biasanya melakukan doa atau tapa di petilasan ini. Dipercaya, petilasan Selo Payung adalah tempat Raja pertama kesultanan Mataram, Raden Danang Sutawijaya atau bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawa melakukan semedi.

"Nama Kahyangan ini sudah ada jauh sebelum Wangsa Sanjaya, sebelum ada Panembahan Senopati, Nyi Puju, Kyai Puju. Ketika itu masih zaman perwayangan atau kedewatan, dewa-dewi dipercaya bisa terlihat oleh manusia," tutur ahli spiritual, Gus Cokro ST di Punden Kahyangan, Dusun Dlepih, Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah.

Jauh sebelum Panembahan, Kahyangan sudah digunakan oleh para brahmana, begawan termasuk kalangan ksatria dari masa Majapahit untuk tempat bertapa. Ki Juru Martani juga pernah bertapa di Kahyangan sebelum mengabdi kepada keraton.

"Kebanyakan leluhur , terutama para brahmana dan golongan ksatria dari zaman Kadewatan, yang ingin mendekat pada para dewa akan melakukan ritual doa dan tapa disini .Tidak menutup kemungkinan zaman Mataram Kuno, Singosari Ken 
Arok, Majapahit Raden Wijaya juga Mataram Baru," timbuh Gus Cokro ST

Kemudian batu-batu akik yang dipercaya berasal dari tasbihnya Panembahan Senopati dan Sunan Kalijaga itu pun telah dipakai para brahmana dan begawan dalam tiap upacara keagamaan. Nah, sungai berbentuk kolam di kawasan tersebut atau dikenal Kedung Pesiraman, yang airnya bersumber dari sebuah tempuran air terjun, adalah pemandian para bidadari.

Lanjut Bimo menuturkan, penguasa Pantai Laut Selatan, Kanjeng Ratu Kidul sebetulnya tak lain dari Dewi Nawang Wulan, masih leluhur Panembahan Senopati. Hubungan Panembahan dan Kanjeng Ratu bukanlah pasangan suami istri seperti cerita yang beredar di masyarakat kebanyakan.

Ki Ageng Pemanahan, ayah Panembahan merupakan cucu Raden Depok atau Ki Ageng Getas Pandowo. Raden Depok sendiri anak buah perkawinan Raden Bondhan Kejawan dengan Dewi Nawang Sih, seorang putri dari Nawang Wulan dan Jaka Tarub.

Panembahan Senopati juga tidak mendapat wahyu keprabon atau keraton di Kahyangan, tapi dari bertapa di Kembang Lampir yang lokasinya di desa

Girisekar, Kabupaten Gunung Kidul Wonosari.  

"Ada kisah, wahyu keprabon itu masuk ke buah kelapa," tambahnya.

Matahari sudah terasa di ubun-ubun kepala saat menapaki jalan setapak menuju kembali ke Gapura Masuk Kahyangan dari Kedung Pesiraman. Bunyi gemericik air sungai mengalir dan kicauan burung ikut mengiringi langkah kaki. Sayangnya, keinginan mendekati Selo Gilang urung terlaksana karena derasnya arus sungai. Menurut Gus Cokro ST, ada baiknya jika ingin menghampiri Selo Gilang dilakukan saat musim kemarau.

                         
Jeng Asih, Ratu Pembuka Aura dari Gunung Muria






Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 - 08122908585




















         
                


Sumur Kejayaan Konon Tempat Sunan Gunung Jati Wudhu

Sumur Kejayaan
Tak dipungkiri bahwa, Keraton Kasepuhan Cirebon, merupakan salah satu keraton terbesar yang ada di Cirebon, Jawa Barat. Di keraton ini banyak tersimpan benda-benda bersejarah peninggalan Sunan Gunung Jati.
Selain itu, tempat-tempat bersejarah yang dulu biasa digunakan oleh Sunan Gunung Jati dalam menjalani dan menyebarkan agama Islam masih terawat dengan baik. Salah satunya ialah Sumur Kejayaan.
Sumur ini berada satu lokasi dengan petilasan Pangeran Cakrabuana dan petilasan Sunan Gunung Jati dan juga letaknya tidak jauh dari tempat yang dulu dipergunakan oleh para Wali Songo untuk rapat yakni di dalam Patilasan Dalem Agung Pakungwati.
Pak Enju, ketua kuncen Keraton Kasepuhan menuturkan, Sumur Kejayaan dibuat pada 1430M sebagai tempat untuk berwudhu Pangeran Cakrabuana, Kanjeng Sunan Gunung Jati dan para santrinya.
Sumur ini memiliki pantangan tersendiri yaitu bagi kaum hawa dilarang masuk ke dalam kompleks Dalem Agung Pakungwati di mana sumur tersebut berada.
"Itu pesan dari Kanjeng Sunan Gunung Jati yang terus kami jaga sampai Sekarang," kata Enju.
Enju tidak dapat menjelaskan secara detail mengapa adanya larangan tersebut. Namun menurut Enju, zaman dulu, Dalem Agung Pakungwati merupakan tempat berdoa, wirid Pangeran Cakrabuana dan Sunan Gunung Jati, sehingga dikhawatirkan jika ada perempuan yang masuk ke tempat tersebut dapat mengganggu konsentrasi.
"Air yang diambil dari Sumur Kejayaan boleh dipakai oleh perempuan, tetapi setelah dibawa keluar," jelasnya.
Sumur Kejayaan yang dulunya bernama Sumur Kahuripan, selain sebagai tempat berwudhu, juga sumur ini dipergunakan untuk mandi oleh para santri jika akan menjalani tugas yang diberikan Kanjeng Sunan Gunung Jati.
"Airnya dipercaya dapat membawa barokah, tetapi semuanya atas ridho Allah SWT," sebutnya.
Air Sumur Kejayaan tidak pernah kering pada musim kemarau dan tidak terasa asin padahal letak Keraton Kasepuhan tidak begitu jauh dari pantai.
"Airnya dingin, jernih dan tidak asin, padahal sumur lain yang ada di dekat Keraton airnya asin," ungkap Enju.
Air Sumur Kejayaan hampir setiap harinya banyak dipakai oleh para wisatawan yang berkunjung ke sumur tersebut, selain untuk mandi, cuci muka dan wudhu, tidak sedikit wisatawan yang membawa pulang air dari sumur itu.
Nah bagi Anda yang ingin merasakan air Sumur Kejayaan silahkan datang ke Keraton Kasepuhan Jalan Kasepuhan No 43, Kampung Mandalangan, Kelurahan Kasepuhan, Kecamatan Lemah Wungkuk, Cirebon, Jawa Barat.  


Jeng Asih, Ratu Pembuka  Aura dari Gunung Muria




Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan

08129358989 – 08122908585    




Petilasan Kanjeng Sunan Kalijaga dan Mitos Kera Penghuninya


Petilasan kanjeng Sunan Kalijaga di Cirebon
Wilayah di  kawasan hutan di Petilasan Sunan Kalijaga, Harjamukti, Kota Cirebon, tak hanya sekadar menyimpan sejarah dan nilai religinya. Di kawasan yang tak jauh dari perumahan elit tersebut juga terdapat puluhan kera jenis ekor panjang, keberadaan puluhan kera justru menjadi daya tarik.
"Itu gak gigit, gak ngusik pengunjung kok. Kalau ada pengunjung, langsung itu kumpul. Pengunjung senang kan, ngasih makan kera. Nakalnya, paling suka ngelepasin kaca spion motor yang diparkir," kata Pak Sarno, salah seorang pedagang di Petilasan Sunan Kalijaga.
Setiap hari, puluhan kera mendapat makan dari para pengunjung. Kera-kera itu silih berganti memperebutkan makanan dari pengunjung.
Pemerintah Kota Cirebon sengaja melestarikan puluhan kera tersebut. Salah satu sisi kawasan petilasan bahkan terdapat lapak pengunjung memberi makan kera. Selain daya tarik pengunjung, keberadaan kera-kera tersebut tak terlepas dari mitos.
Menurut cerita yang berkembang, puluhan kera Petilasan Sunan Kalijaga merupakan jelmaan para murid Sunan Kalijaga. Mereka menjelma jadi kera akibat melawan perintah dan ajaran Sunan Kalijaga.
"Katanya sih itu kutukan. Karena bandel, terus dikutuk jadi kera," papar Wanti.
Pada waktu-waktu tertentu, kera-kera tersebut tawuran. Kera-kera berteriak seakan-akan saling mengejek. Tidak jarang perkelahian antar kera itu menyebabkan kera terluka. Meski terluka, kadang warga sekitar memberi makanan yang baik untuk mempercepat luka. Tak ada satu pun warga yang berani mengambil kera tersebut untuk dijual atau dipelihara di rumah.
"Katanya kalau ngambil kera di sini bisa kena sial," tambah Pak Sarno. 

Jeng Asih, Ratu Pembuka  Aura dari Gunung Muria




Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan

08129358989 – 08122908585   


Menyambangi Keramat Beji, Konon Tempat Tokoh Sakti Merenung

 Kota Depok, merupakan kota administrative di wilayah Jawa Barat, selain memiliki berbagai macam seni budaya yang masih asli, rupanya kota Depok juga memiliki akan peninggalan kolonial Belanda pada masa silam, Kota Depok yang sekaligus juga merupakan kota penyanggah Jakarta-Bogor, ternyata juga kaya akan situs-situs bersejarah yang terus terjaga keasliannya, seperti Patilasan Eyang Raden Mbah Wujud Beji.
Cagar budaya yang berada dekat dengan permukiman warga Keramat Beji, bagi sebagian warga memercayai bahwa tempat tersebut merupakan lokasi di mana orang-orang sakti pada zaman dahulu merenung atau berkontemplasi mengingat kebesaran Tuhan Yang Maha kuasa.


"Kenapa namanya Beji, itu artinya 'sakabeh jadi sahiji', di mana semua leluhur berkumpul di sini yang akhirnya 'manunggal sawujud' (menyatu menjadi satu wujud). Karena itu, nama daerah ini, Beji. Diambil dari kata itu, kalau kita mau menggali makna yang tersirat," kata Martono (66) selaku Juru Kunci Petilasan Keramat Eyang Raden Mbah Wujud Beji, Depok, Jawa Barat,  
Adapun leluhur itu, tambah Martono, beberapa Walisanga, seperti Sunan Kalijaga.
"Pada saat penyebaran Islam, di sini merupakan tempat mereka merenung. Bahkan, Kanjeng Nyai Kidul juga pernah ke sini. Tokoh besar lainnya, Eyang Soekarno," tambahnya.  

Jeng Asih, Ratu Pembuka  Aura dari Gunung Muria


                                         


Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 – 08122908585 

                     https://djengasih.com/blog/aura-dayapikat-jeng-asih                

Minggu, 27 November 2016

Napak Tilas Jejak Pangeran Benawa, Pendiri Pemalang

 

 Petilasan.com-Pada tahun 1575, Pemalang berhasil membentuk pemerintahan tradisional. Tokoh yang berperan penting adalah Pangeran Benawa. Banyak diceritakan bahwa, pangeran itu asal mulanya adalah Raja Jipang yang menggantikan ayahnya yang telah mangkat yaitu Sultan Adiwijaya. Banyak yang meyakini, Beliau adalah pendiri Kabupaten Pemalang.
Namun siapakah beliau, benarkah ia Putra Jaka Tingkir yang sakti madraguna itu, lalu apa yang membuat beliau sampai di Pemalang. Mari kita simak cerita berikut.
Sultan Adiwijaya atau Sultan Hadwijaya adalah nama lain dari Mas Karebet atau Jaka Tingkir. Seorang Kestria Jawa yang terkenal akan kesaktianya. Kisahnya yang masyhur semisal menaklukan sekumpulan Buaya, dan membunuh prajurit sakti bernama Dadangawuk hanya berbekal daun sirih.
 Jaka tingkir sebelumnya hanyalah Adipati di Pajang. Sebuah pemerintahan di bawah Kerajaan Demak. Demak kemudian memindah kekuasaan ke Pajang, setelah Putra Sultan Trenggono, Sunan Prawata dibunuh oleh Arya Penangsang,. Arya Penangsang pun berhasil membunuh suami Ratu Kalinyamat. Jaka Tingkir kemudian diangkat menjadi Raja Pajang, dan Demak menjadi Kadipaten di bawah Pajang. Setelah sebelumnya menjadi kerajaan.
Ratu Kalinyamat membujuk Jaka Tingkir untuk membunuh Arya Penangsang. Namun tidak bisa karena, Jaka Tingkir dan Arya Penangsang saudara seperguruan dari Sunan Kudus. Namun Purwadi (2007) menulis, Arya Penangsang berniat memberontak kepada Jaka Tingkir, karena status Jaka Tingkir yang hanya keponakan dari Sultan Trenggono, bukan putra Mahkota.
Kemudian diadakan sayembara, untuk menghadapi Arya Penangsang. Siapa yang bisa menaklukan Arya Penangsang, ia dijanjikan kawasan Mataram di Jogja dan Pati di pesisir utara pantai jawa. Pada akhirnya terpilih Ki Agung Pemanahan dan Ki Penjawi. Singkat cerita, Arya Penangsang akhrinya tewas oleh Sutawijaya, anak dari Pamanahan.
Setelah tewasnya Arya Penangsang, Penjawi dihadiahi Pati oleh Jaka Tingkir, namun Jaka Tingkir sempat menahan Hadiah tanah berupa Mataram kepada Ki Ageng Pemanahan. Jaka tingkir percaya ramalah Sunan Giri, bahwa Mataram kelak akan menjadi kerajaan yang lebih maju daripada Pajang. Namun setelah dibujuk Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir memberikan juga kepada Ki Ageng Pemanahan.
 Sedang Ki Ageng Pemanahan, hanya diwajibkan laporan kepada Pajang, sebagai simbol kesetiaan meskipun tanpa memberika pajak dan upeti. Setelah Ki Ageng wafat, tahta diberikan kepada Putranya yaitu Sutawijaya, ia kemudian diberi hak untuk tidak menghadap ke Pajang.
Pajang curiga dengan gerak gerik mataram, kemudian diutuslah Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil. Mereka berkesimpulan, Sutawijaya agak kurang sopan dan terkesan memberontak. Jaka Tingkir kemudian mengutus rombongan kedua, yang dipimpin oleh Pangeran Benawa (Putra Mahkota), Arya Pamalad (Adipati Tuban), dan Patih Mancanegara. Rombongan ini malah dijamu dengan Pesta oleh Sutawijaya
Namun terjadi insiden, seoran prajurit Tuban mati oleh Raden Rangga (Putra Sutawijaya) karena didesak oleh Arya Pamalad pada saat Pesta. Mereka kemudian melapor kepada Pajang, Jaka Tingkir berniat menyerang, namun diyakinkan oleh Pangeran Benawa bahwa insiden itu murni kecelakaan.
Puncaknya adalah seorang Keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang,. Raden  Pabelan, menerobos Keputrian dan menemui Ratu Sekar Kedaton (Putri bungsu Jaka Tingkir). Akibatnya Raden Pabelan, dihukum mati. Dan Tumenggung Mayang, ayah dari Raden Pabelan dihukum buang, karena diduga membantu perbuatan anaknya.
Istri Tumenggung Mayang, meminta bantuan kepada Mataram untuk membebaskan Tumenggung Mayang. Dan sutawijaya pun mengutus orang, untuk membebaskan Tumenggun Mayang. Akibat perbuatan lancang ini, Jaka Tingkir merasa perlu untuk menyerang Mataram. Dan perang pun tidak terelakan.
Namun, meski berjumlah lebih banyak. Pasukan Pajang menderita kekalaahan Jaka Tingkir terdesak, ia merasa di ujung hidupnya. Ia berpesan kepada penerusnya, siapapun yang menjadi Raja Pajang selanjutnya, untuk tidak memusuhi Sutwaijaya, selain karena anak angkatnya, peperangan dengan Mataram merupakan sebuah takdir. Jaka Tingkir pun meninggal sekitar tahun 1582.
Kekosongan tahta di Pajang menimbulkan perebutan kekuasaan. Sebagai Putra Mahkota, Pangeran Benowo lebih berhak meraih tahta kerajaan pajang, namun Arya Pangiri Suami Ratu Pembayun, putri tertua Jaka Tingkir, merasa lebih berhak untuk tahta pajang. Ia beranggapan usia Pangeran Benawa lebih muda daripada Istrinya. Pendapat ini didukung oleh Panembaha Kudus (Pengganti Sunan Kudus). Pangeran Benawa akhirnya hanya menjadi Bupati Jipang.
Namun kepemimpinan Arya Pangiri disebut mudah curiga. Ketika kerajaan Aceh mengirim utusan untuk meminta bantuan mengusir Portugis dari Malaka, Arya Pangiri malah membunuh utusan tersebut. Aceh kemudian meminta bantuan Turki Ustmani, meskipun pada kahirnya berakhir gagal dalam mengusir Portugis.
Arya Pangiri, hanya berfokus bagaimana mengalahkan Mataram. Ia bahkan membentuk pasukan dari Demak, Bali, dan Bugis untuk menyerbu Mataram. Sedang para Prajurit Pajang sendiri, disingkirkan Arya Pangiri, mereka yang kecewa terhadap Arya Pangiri kemudian memilih mengabdi kepada Pangeran Benowo.
Pangeran Benowo merasa prihatin dengan keadaan rakyat Pajang. Ia yang terkenal berwatak halus dan lembut itu, kemudian bersekutu dengan Sutawijaya dari Mataram untuk menggempur Pajang. Kebetulan keduanya sedari kecil sudah akrab, karena Sutawijaya dianggap anak angkat dari Jaka Tingkir. Gabungan antara pasukan Jipang dan Pasukan Mataram berhasil menurunkan Arya Pangiri dari Tahta, Arya Pangiri kemudian dipulangkan ke Demak.
Pangeran Benawa kemudian naik tahta menjadi Raja Pajang dan bergelar Prabuwijaya. Namun ia tidak lama duduk sebagai Raja di Pajang. Purwadi  (2007) berpendapat Pangeran Benawa mengalami banyak pertentangan, karena kebijakan politk ekspansinya, terutama dari Jawa bagian tengah dan timur. Ia pun berupaya memindahkan tahta kerajaan dari Pajang ke Mataram.
Sungguhpun demikian, Pangeran Benawa ditulis Purwadi (2007) termasuk orang yang peduli terhadap Pendidikan, ia bisa menyeimbangakn pendidikan Umum dan Agama. Kelak dari konsep ini, lahirlah tradisi Pondok Pesantren, yang menjadi ciri khas pendidikan Nusantara.
Keberhasilan ini tidak lepas dari didikan yang terarah lagi sistematis dari Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya. Selain terkenal karena kesaktianya, Jaka Tingkir dikenal menciptakan wayang Kencana, yang berukuran lebih kecil dari wayang biasanya. Jaka Tingkir pun memiliki pujangga, yang bernama Pangeran Karanggayam. Ia berhasil menciptakan seratnitisruti yang berisi ajaran moral dan mistik kejawen.


Pangeran Benowo yang terus mendapat tekanan, kemudian memilih menyepi di gunung dan tirakat.Nah, sampai disini kemudian timbul perbedaan dimanakah kemudian Pangeran Benawa menyepikan diri. Misalnya, Graff dan Pigeaud (1985) berpendapat, Pangeran Benawa menyepi ke daerah Kedu. Sementara ada pendapat pula, yang menyatakan Pangeran Benawa pindah ke barat dan membangun Pemalang.
Hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah makam, yang diduga sebagai tempat persemayaman Pangeran Benawa di desa Penggarit, Kabupaten Pemalang.

Pangeran Benawa memiliki Putri yang bernama Dyah Banowati. Ia dijodohkan dengan Mas Jolang anak dari Sutawijaya. Dari pernikahan keduanya melahirkan Sultan Agung, raja terbesar mataram. Dari silisilah Pangeran Benawa, didapati anam Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Ronggowarsito dan Yosodipuro, keduanya merupaka Pujangga termasyhur dari Kasunanan Surakarta.


Jeng Asih, Ratu Pembuka  Aura dari Gunung Muria




 Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
      08129358989 – 08122908585