Minggu, 27 November 2016

Napak Tilas Jejak Pangeran Benawa, Pendiri Pemalang

 

 Petilasan.com-Pada tahun 1575, Pemalang berhasil membentuk pemerintahan tradisional. Tokoh yang berperan penting adalah Pangeran Benawa. Banyak diceritakan bahwa, pangeran itu asal mulanya adalah Raja Jipang yang menggantikan ayahnya yang telah mangkat yaitu Sultan Adiwijaya. Banyak yang meyakini, Beliau adalah pendiri Kabupaten Pemalang.
Namun siapakah beliau, benarkah ia Putra Jaka Tingkir yang sakti madraguna itu, lalu apa yang membuat beliau sampai di Pemalang. Mari kita simak cerita berikut.
Sultan Adiwijaya atau Sultan Hadwijaya adalah nama lain dari Mas Karebet atau Jaka Tingkir. Seorang Kestria Jawa yang terkenal akan kesaktianya. Kisahnya yang masyhur semisal menaklukan sekumpulan Buaya, dan membunuh prajurit sakti bernama Dadangawuk hanya berbekal daun sirih.
 Jaka tingkir sebelumnya hanyalah Adipati di Pajang. Sebuah pemerintahan di bawah Kerajaan Demak. Demak kemudian memindah kekuasaan ke Pajang, setelah Putra Sultan Trenggono, Sunan Prawata dibunuh oleh Arya Penangsang,. Arya Penangsang pun berhasil membunuh suami Ratu Kalinyamat. Jaka Tingkir kemudian diangkat menjadi Raja Pajang, dan Demak menjadi Kadipaten di bawah Pajang. Setelah sebelumnya menjadi kerajaan.
Ratu Kalinyamat membujuk Jaka Tingkir untuk membunuh Arya Penangsang. Namun tidak bisa karena, Jaka Tingkir dan Arya Penangsang saudara seperguruan dari Sunan Kudus. Namun Purwadi (2007) menulis, Arya Penangsang berniat memberontak kepada Jaka Tingkir, karena status Jaka Tingkir yang hanya keponakan dari Sultan Trenggono, bukan putra Mahkota.
Kemudian diadakan sayembara, untuk menghadapi Arya Penangsang. Siapa yang bisa menaklukan Arya Penangsang, ia dijanjikan kawasan Mataram di Jogja dan Pati di pesisir utara pantai jawa. Pada akhirnya terpilih Ki Agung Pemanahan dan Ki Penjawi. Singkat cerita, Arya Penangsang akhrinya tewas oleh Sutawijaya, anak dari Pamanahan.
Setelah tewasnya Arya Penangsang, Penjawi dihadiahi Pati oleh Jaka Tingkir, namun Jaka Tingkir sempat menahan Hadiah tanah berupa Mataram kepada Ki Ageng Pemanahan. Jaka tingkir percaya ramalah Sunan Giri, bahwa Mataram kelak akan menjadi kerajaan yang lebih maju daripada Pajang. Namun setelah dibujuk Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir memberikan juga kepada Ki Ageng Pemanahan.
 Sedang Ki Ageng Pemanahan, hanya diwajibkan laporan kepada Pajang, sebagai simbol kesetiaan meskipun tanpa memberika pajak dan upeti. Setelah Ki Ageng wafat, tahta diberikan kepada Putranya yaitu Sutawijaya, ia kemudian diberi hak untuk tidak menghadap ke Pajang.
Pajang curiga dengan gerak gerik mataram, kemudian diutuslah Ngabehi Wilamarta dan Ngabehi Wuragil. Mereka berkesimpulan, Sutawijaya agak kurang sopan dan terkesan memberontak. Jaka Tingkir kemudian mengutus rombongan kedua, yang dipimpin oleh Pangeran Benawa (Putra Mahkota), Arya Pamalad (Adipati Tuban), dan Patih Mancanegara. Rombongan ini malah dijamu dengan Pesta oleh Sutawijaya
Namun terjadi insiden, seoran prajurit Tuban mati oleh Raden Rangga (Putra Sutawijaya) karena didesak oleh Arya Pamalad pada saat Pesta. Mereka kemudian melapor kepada Pajang, Jaka Tingkir berniat menyerang, namun diyakinkan oleh Pangeran Benawa bahwa insiden itu murni kecelakaan.
Puncaknya adalah seorang Keponakan Sutawijaya yang tinggal di Pajang,. Raden  Pabelan, menerobos Keputrian dan menemui Ratu Sekar Kedaton (Putri bungsu Jaka Tingkir). Akibatnya Raden Pabelan, dihukum mati. Dan Tumenggung Mayang, ayah dari Raden Pabelan dihukum buang, karena diduga membantu perbuatan anaknya.
Istri Tumenggung Mayang, meminta bantuan kepada Mataram untuk membebaskan Tumenggung Mayang. Dan sutawijaya pun mengutus orang, untuk membebaskan Tumenggun Mayang. Akibat perbuatan lancang ini, Jaka Tingkir merasa perlu untuk menyerang Mataram. Dan perang pun tidak terelakan.
Namun, meski berjumlah lebih banyak. Pasukan Pajang menderita kekalaahan Jaka Tingkir terdesak, ia merasa di ujung hidupnya. Ia berpesan kepada penerusnya, siapapun yang menjadi Raja Pajang selanjutnya, untuk tidak memusuhi Sutwaijaya, selain karena anak angkatnya, peperangan dengan Mataram merupakan sebuah takdir. Jaka Tingkir pun meninggal sekitar tahun 1582.
Kekosongan tahta di Pajang menimbulkan perebutan kekuasaan. Sebagai Putra Mahkota, Pangeran Benowo lebih berhak meraih tahta kerajaan pajang, namun Arya Pangiri Suami Ratu Pembayun, putri tertua Jaka Tingkir, merasa lebih berhak untuk tahta pajang. Ia beranggapan usia Pangeran Benawa lebih muda daripada Istrinya. Pendapat ini didukung oleh Panembaha Kudus (Pengganti Sunan Kudus). Pangeran Benawa akhirnya hanya menjadi Bupati Jipang.
Namun kepemimpinan Arya Pangiri disebut mudah curiga. Ketika kerajaan Aceh mengirim utusan untuk meminta bantuan mengusir Portugis dari Malaka, Arya Pangiri malah membunuh utusan tersebut. Aceh kemudian meminta bantuan Turki Ustmani, meskipun pada kahirnya berakhir gagal dalam mengusir Portugis.
Arya Pangiri, hanya berfokus bagaimana mengalahkan Mataram. Ia bahkan membentuk pasukan dari Demak, Bali, dan Bugis untuk menyerbu Mataram. Sedang para Prajurit Pajang sendiri, disingkirkan Arya Pangiri, mereka yang kecewa terhadap Arya Pangiri kemudian memilih mengabdi kepada Pangeran Benowo.
Pangeran Benowo merasa prihatin dengan keadaan rakyat Pajang. Ia yang terkenal berwatak halus dan lembut itu, kemudian bersekutu dengan Sutawijaya dari Mataram untuk menggempur Pajang. Kebetulan keduanya sedari kecil sudah akrab, karena Sutawijaya dianggap anak angkat dari Jaka Tingkir. Gabungan antara pasukan Jipang dan Pasukan Mataram berhasil menurunkan Arya Pangiri dari Tahta, Arya Pangiri kemudian dipulangkan ke Demak.
Pangeran Benawa kemudian naik tahta menjadi Raja Pajang dan bergelar Prabuwijaya. Namun ia tidak lama duduk sebagai Raja di Pajang. Purwadi  (2007) berpendapat Pangeran Benawa mengalami banyak pertentangan, karena kebijakan politk ekspansinya, terutama dari Jawa bagian tengah dan timur. Ia pun berupaya memindahkan tahta kerajaan dari Pajang ke Mataram.
Sungguhpun demikian, Pangeran Benawa ditulis Purwadi (2007) termasuk orang yang peduli terhadap Pendidikan, ia bisa menyeimbangakn pendidikan Umum dan Agama. Kelak dari konsep ini, lahirlah tradisi Pondok Pesantren, yang menjadi ciri khas pendidikan Nusantara.
Keberhasilan ini tidak lepas dari didikan yang terarah lagi sistematis dari Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya. Selain terkenal karena kesaktianya, Jaka Tingkir dikenal menciptakan wayang Kencana, yang berukuran lebih kecil dari wayang biasanya. Jaka Tingkir pun memiliki pujangga, yang bernama Pangeran Karanggayam. Ia berhasil menciptakan seratnitisruti yang berisi ajaran moral dan mistik kejawen.


Pangeran Benowo yang terus mendapat tekanan, kemudian memilih menyepi di gunung dan tirakat.Nah, sampai disini kemudian timbul perbedaan dimanakah kemudian Pangeran Benawa menyepikan diri. Misalnya, Graff dan Pigeaud (1985) berpendapat, Pangeran Benawa menyepi ke daerah Kedu. Sementara ada pendapat pula, yang menyatakan Pangeran Benawa pindah ke barat dan membangun Pemalang.
Hal ini dibuktikan dengan adanya sebuah makam, yang diduga sebagai tempat persemayaman Pangeran Benawa di desa Penggarit, Kabupaten Pemalang.

Pangeran Benawa memiliki Putri yang bernama Dyah Banowati. Ia dijodohkan dengan Mas Jolang anak dari Sutawijaya. Dari pernikahan keduanya melahirkan Sultan Agung, raja terbesar mataram. Dari silisilah Pangeran Benawa, didapati anam Pangeran Radin, yang kelak menurunkan Ronggowarsito dan Yosodipuro, keduanya merupaka Pujangga termasyhur dari Kasunanan Surakarta.


Jeng Asih, Ratu Pembuka  Aura dari Gunung Muria




 Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
      08129358989 – 08122908585              

Jejak Petilasan Prabu Air langga di Bumi Lamongan




Angker.com “Lamongan menyimpan data yang luar biasa mengenai Prabu Airlangga. Airlangga itu raja besa  malah lebih besar dari Hayam Wuruk. Dari disertasi saya saja sudah 7 artikel saya buat tentang Airlangga, yang paling lengkap ingin saya sampaikan di Lamongan supaya orang Lamongan bisa bangga dengan leluhurnya”, Dr. Ninie Soesanti arkeolog UI.

Demikian ungkapan Dr. Ninie Soesanti seorang arkeolog UI yang pernah meneliti beberapa prasasti Airlangga di Lamongan. Ungkapan ini disampaikan melalui email saat saya berkomunikasi tentang transkrip beberapa prasasti Airlangga di Lamongan.

Dari sepintas ungkapan di atas dan didukung dengan fakta arkeologis dilapangan, maka judul tulisan diatas nampaknya tidak berlebihan. Lamongan memang menyimpan banyak data berkaitan dengan masa pemerintahan kerajaan Prabu Airlangga, terutama berupa tulisan diatas batu atau yang biasa disebut dengan prasasti batu. Dari data sementara yang terkumpul paling tidak terdapat 41 prasasti batu yang sebagian besar diperkirakan berasal dari zaman sebelum munculnya Kerajaan Majapahit, namun demikian belum pernah ditemukan adanya keterangan prasasti pada era singasari. Beberapa prasasti seperti prasasti pamwatan (Pamotan), prasasti Pasar Legi (Sendang Rejo, dulunya satu Desa), prasasti Puncakwangi, Prasasti Wotan (Slahar Wotan), dan lainnya jelas teridentifikasi sebagai prasasti-prasasti yang di keluarkan oleh Prabu Airlangga.
Disamping prasasti-prasasti yang tersebut diatas masih banyak jajaran prasasti lainnya yang belum teridentifikasi secara pasti mengenai tahun dikeluarkannya prasasti dan juga kandungan isi dari prasasti tersebut. Yang perlu disayangkan adalah akibat dari kurangnya perhatian berbagai pihak, banyak dari prasasti-prasasti tersebut dalam kondisi yang sangat memprihatinkan karena terkesan tidak ada kepedulian baik dari pihak yang berwenang maupun masyarakat secara umum. Kondisi ini menyebabkan banyak prasasti yang makin rusak bahkan kemudian banyak juga yang hilang dicuri, dirusak orang atau tengelam/terkubur.

Menurut hasil-hasil penelitian para arkeolog sebagian besar prasasti Airlangga banyak ditemukan disekitar Jombang dan Lamongan, membujur dari sekitar Ploso ditepian sungai Brantas, Sambeng, Ngimbang, Modo, dan Babat sekitar Bengawan Solo. Berdasar dari data faktual berupa prasasti tersebut maka tidak heran jika banyak ahli sejarah yang menyimpulkan bahwa pusat kekuasaan Raja Airlangga diperkirakan berada di sekitar Ngimbang. Jika pendapat ini benar maka bisa dipastikan bahwa Lamongan merupakan daerah yang penting semasa Pemerintahan Kerajaan Airlangga. Tidak dapat dinafikan pula bahwa wilayah Lamongan menjadi sentral dalam upaya mengungkap dan mempelajari sejarah kerajaan Airlangga.

Airlangga adalah penerus wangsa isana di jawa timur yang lolos dari bencana pralaya yang meluluh lantakkan istana Mataram kuno masa pemerintahan Dharmawangsa Teguh. Peristiwa serangan mendadak yang dilancarkan oleh Raja Wurawari ini terjadi tepat pada saat pesta perkawinan antara Airlangga dan putri Raja Dharmawangsa Teguh sedang berlangsung. Serangan ini banyak menewaskan para pembesar Istana termasuk Raja Dharmawangsa Teguh juga meninggal dalam serangan tersebut dan dicandikan di Wwatan.
Airlangga, yang datang ke Mataram untuk dinikahkan dengan anak Dharmawangsa teguh, adalah anak dari Mahendradatta Gunapriya Dharmapatni, saudara perempuan Dharmawangsa Teguh, dengan Udayana, seorang Raja dari wangsa Warmmadewa Bali. Saat pesta perkawinan berlangsung peristiwa pralaya terjadi ( 1016 M) , Airlangga yang pada saat itu baru berumur 16 tahun mampu menyelamatkan diri dari pralaya, bersama seorang hambanya yang setia, Narottama. Airlangga menjalani kehidupan di hutan lereng gunung dan berkumpul dengan para pertapa dan pendeta. Kehidupan Airlangga dihutan bersama dengan pertapa dan pendeta nampaknya banyak memberikan pelajaran dalam perjalanannya kemudian saat menjadi Raja. Sejak inilah perjuangan Airlangga dimulai. Sebagai jelmaan dewa Wisnu (saksatiranwisnumurtti) Airlangga membangun tahta dari puing-puing kehancuran kerajaannya.
Setelah melewati masa persembunyian dengan kalangan pertapa, Airlangga didatangi oleh utusan para pendeta dari ketiga Aliran (Siwa, Buda, dan Mahabrahmana) yang menyampaikan permintaan supaya ia menjadi pemimpin di kerajaan yang istananya telah hancur tersebut. Tahun 1019 Airlangga dengan direstui para pendeta dari ketiga Aliran (Siwa, Buda, dan Mahabrahmana). Dia berhasil naik tahta dengan bergelar Rake Halu Sri Lokeswara Dharmmawangsa Airlangga Anantawikrama Utunggadewa dikukuhkan di Halu (ikanang halu kapratisthan sri maharaja) selanjutnya Airlangga membuat arca perwujudan leluhurnya yang telah dicandikan di Isanabajra (Sang lumah ring Isanabajra), penobatannya dikukuhkan pada sasalanchana abdi vadane (bulan lautan muka = 941 Saka/1019 M).

Periode awal pemerintahan Airlangga dipenuhi dengan peperangan dan penaklukan negara-negara bawahan yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan kerajaan Dharmawangsa Teguh. Pada tahun 943 Saka (1021) Raja Airlangga telah memberi anugerah ‘sima’ kepada penduduk Desa Cane yang masuk wilayah tinghal pinghay, karena mereka terlah berjasa menjadi “benteng” disebelah barat kerajaan, senantiasa memperlihatkan ketulusan hatinya mempersembahkan bakti kepada raja, tiada gentar mempertaruhkan jiwa raganya dalam peperangan, agar sri maharaja memperoleh kemenangan.

Prasasti Pucangan memberitakan bahwa antara tahun 1029 – 1037 Airlangga menaklukan Wuratan (1030 M) dengan rajanya bernama Wisnuprabhawa terkenal sangat kuat (atisayeng mahabala), pada tahun sama menyerang raja Panuda dari Wengker (pangharpharpan mwang haji wengker). Tahun 1032, haji Wura Wari yang memporandakan kraton Dharmmawangsa Teguh, menaklukan juga seorang ratu wanita (?) yang konon sangat gagah seperti raksasi. Berita ini khusus dimuat pada bagian berbahasa Sansekerta. Prasasti (tembaga) Terep (1032) menerangkan kraton Airlangga di Wwatan Mas diserang musuh (?) sehingga Airlangga harus menyingkir ke Patakan(ri kala sri maharaja kalataya sangke wwatan mas mara i patakan).

Setelah melewati berbagai peperangan, penaklukan, dan konsolidasi diawal hingga pertengahan masa pemerintahannya. Peringatan kemenangan kemudian dikukuhkan di dalam prasasti Turun Hyang A (1036) dan menganugerahkan penghargaan daerah sima kepada penduduk desa Turun Hyang karena jasa-jasanya dalam pembiayaan dan pengelolaan pertapaan Sriwijayasrama dan pertapaan-pertapaan lainnya di gunung Pugawat(matang ya siddhaken prajnanira madamel yasa patapaning pucangan) seperti disebut dalam prasasti Pucangan.

Patakan; Ibukota Sementara Dalam Pelarian Sang Raja
Periode antara tahun 951 saka (1029 M) sampai dengan tahun 959 saka (1037 M) adalah periode penaklukan yang dilakukan oleh Raja Airlangga terhadap musuh-musuhnya baik yang berada wilayah barat, timur, dan selatan.  Berita pada prasasti pucangan memberikan keterangan tentang penyerangan-penyerangan yang dilakukan oleh raja Airlangga atas musuh-musuhnya tersebut.

Namun demikian diantara tahun-tahun tersebut bukan berarti istana Airlangga telah aman dari serangan musuh, kesuksesan dalam penaklukan wilayah sekitar ternyata juga diselingi dengan kekalahan bahkan pelarian. Peristiwa kekalahan yang dialami Airlangga, sehingga ia terpaksa harus meninggalkan keratonnya di Wwtan Mas dan melarikan diri dari istananya menuju ke Desa Patakan, diterangkan dalam prasasti Terep tahun 954 Saka (21 Oktober 1032 M) “sri maharaja katalayah sangke wwatan mas mara i patakan”, namun siapa musuh yang menyerangnya tidak jelas disebutkan. Para ahli sejarah menduga bahwa yang melakukan serangan ini adalah Raja Wurawari, artinya Raja Wurawari mendahului penyerangan terhadap ibukota kerajaan Airlangga sebelum kemudian Airlangga membalas serangan tersebut dan menghancurkan kerajaan Wurawari.


Dalam prasasti terep dikatakan bahwa raja telah memberikan anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong, adik raja sendiri, karena telah berjasa pada waktu Raja Airlangga harus menyingkir dari Wwatan Mas ke Desa Patakan. Di Desa Terep Rakai Pangkaja bersembunyi didalam suatu pertapaan, dan disitu ia menemukan arca Bhatari Durga. Maka ia berdo’a dan memohon kepada sang batari agar raja memperoleh kemenangan dalam peperangan. Ia berjanji jika permohonan itu terkabul ia akan mohon agar Desa Terep, tempat pertapaan itu, ditetapkan menjadi sima. Maka kini setelah raja dapat mengalahkan musuhnya itu, dan kembali bertahta diatas singgasana permata, Rakai Pangkaja Dyah Tumambong Mapanji Tumanggala menghadap raja dan mengajukan permohonanya. Maka dikabulkanlah permohonan itu, yaitu ditetapkannya pertapaan tempat pemujaan betari sebagai daerah swatantra, termasuk sawahnya, kebunnya, dan sungainya, dan ditambah lagi dengan anugerah gelar halu. Maka selanjutnya ia bergelar Rake Halu Dyah Tumambong

Peristiwa kekalahan dan pelarian raja Airlangga dari istana Wwatan Mas menuju desa Patakan terjadi pada tahun yang sama dengan penaklukan yang dilakukan Raja Airlangga terhadap Raja Wurawari. Jika perkirakan diatas benar, bahwa Raja Wurawari melakukan serangan terlebih dahulu dan berhasil memaksa Raja Airlangga untuk menyingkir ke Desa patakan. Maka dapat dipastikan bahwa serangan balik terhadap Raja Wurawari di persiapkan oleh Raja Airlangga dari istana sementara.

Berangkat dari istana sementara di Desa Patakan Raja dengan diiringi oleh rakryan Kanuruhan Mpu Narottama dan Rakryan Kuningan Mpu Niti berhasil menyerbu Raja Wurawari dari arah Magehan (Magetan?). serangan ini berhasil melumpuhkan pertahanan Raja Wurawari dan mengalahkannya, maka lenyaplah semua perusuh di tanah Jawa.

Keberadaan Desa Patakan sebagai pusat pemerintahan sementara juga dikuatkan dengan adanya Prasasti Sendangrejo Kecamatan Ngimbang (dulu bernama Desa Pasar Legi Kecamatan Sambeng) 965 Saka atau 1043 M, yang memuat tentang penghargaan/anugerah  terhadap penduduk Desa Patakan, sayang prasasti ini rusak pada bagian sambandhanya sehingga tidak bisa terbaca secara jelas lagi. Sangat mungkin pemberian anugerah ini berhubungan dengan pertolongan dan darma bakti penduduk patakan terhadap Raja Airlangga pada saat melarikan diri ke desa tersebut.

Disamping keterangan dari Prasasti Terep dan Prasasti Sendangrejo, Prasasti Patakan sendiri juga memuat anugerah Raja kepada rakyat Desa Patakan. Patakan adalah suatu daerah yang pernah dijadikan sima karena punya kewajiban memelihara bangunan suci Sang Hyang Patahunan, sayang belum ada terjemahan yang cukup mengenai prasasti ini, isi prasasti sebetulnya lengkap tetapi prasasti pecah berantakan. JLA Brandes pernah membaca walaupun tidak lengkap. Prasasti tersebut sekarang ada di Museum Nasional dengan nomor D22.

Mengapa Airlangga memilih Desa Patakan sebagai tempat untuk melarikan diri dan memindahkan kekuasaanya untuk sementara?. Pemilihan Desa Patakan sebagai tempat bagi Raja Airlangga untuk melarikan diri sebenarnya bukanlah sebuah kebetulan semata, namun merupakan sebuah perencanaan matang yang didasari oleh posisi strategis Desa Patakan yang berada di bagian puncak dari perbukitan gunung kendeng yang membujur kearah barat, disamping jaminan keamanan dan kesetiaan yang bakal diterima oleh Raja Airlangga dari penduduk Desa Patakan.

Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa Raja Airlangga dinobatkan sebagai Raja dengan restu para pemuka agama dari tiga aliran yang berkembang pada saat itu. Artinya Raja Airlangga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan berbagai tokoh dan pemuka agama dari berbagai aliran tersebut. Di Desa Patakan, sebagaimana isi dari prasasti Patakan, tedapat bangunan peribadatan Sang Hyang Patahunan, yang berarti terdapat seorang pendeta yang sudah demikian dekat dengan Raja Airlangga yang dengan segenap daya dan pengikutnya tentu akan melindungi sang raja dari segala gangguan musuh. Jaminan keamanan ini sangatlah penting dalam situasi saat pelarian yang sangat beresiko jika saja sang Raja salah dalam memilih lokasi pelarian.

Tidak heran jika kemudian Raja Airlangga meneguhkan ulang status Sima bagi Desa Patakan untuk yang kedua kalinya dalam Prasasti Sendangrejo (1043 M) yang juga merupakan prasasti terakhir yang dikeluarkan oleh Raja Airlangga sebelum kerajaan di belah menjadi dua bagian Jenggala dan Pangjalu.

Jejak mengenai tempat peribadatan atau candi di Desa Patakan ini masih terlihat hingga sekarang dan dalam keadaan yang memprihatinkan (penulis pernah mendatangi lokasi candi ini), sayangnya hingga sekarang belum ada perhatian dari Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan dan juga belum ada penelitian dari kalangan Arkeolog. Namun jika melihat jejak-jejak yang ada pada lokasi disekitar bekas reruntuhan candi tersebut, masih ada situs-situs yang lain yang belum dapat penulis identifikasi bentuk bangunannya satu persatu, sangat mungkin keseluruhan dari bagian situs ini merupakan sebuah kompleks bangunan (petirtaan atau bahkan istana) yang bersanding dengan sebuah bangunan candi.

Pamotan; Kota Dahanapura Pangjalu Sebelum Kediri
Raja Airlangga (1016-1042 M) memerintah di Jawa Timur sejak 1021 sesuai dengan isi prasati Pucangan (Calcutta). Pusat kerajaan Airlangga berpindah-pindah karena diserang oleh musuh. Setelah peristiwa pralaya yang menghancurkan istana Wwatan milik Dharmawangsa Teguh, Airlangga yang bersembunyi di hutan lereng gunung kembali merebut istana Wwatan, menurut prasasti Cane (1021 M) Airlangga kemudian membangun istana Wwatan Mas. Prasasti Terep (1032 M) menyebutkan raja Airlangga lari dari istananya di Watan Mas ke Patakan karena serangan musuh. Setelah airlangga berhasil menaklukan Raja Wurawari pada tahun 954 Saka (1032 M), rupanya Raja Airlangga tidak kembali lagi ke Istana Wwatan Mas, namun ia justru meninggalkan istana Wwatan Mas dan membangun istana/ibukota baru di Kahuripan. Berita ini termuat dalam prasasti Kamalagyan 1037 M, yang berbunyi“makateweka pandri sri maharaja makadatwan i kahuripan”.

Lalu sejak kapan airlangga memindahkan ibukota kerajaannya ke Dahana(pura)?. Nama Dahana(pura) termuat dalam uraian Serat Calon Arang sebagai ibukota kerajaan Airlangga, namun dalam uraian serat tersebut tidak disebutkan dimana letak kota Dahana(pura) juga tidak di Kediri ataupun di Lamongan.
Sesungguhnya kota Daha sudah ada sebelum Kerajaan Kadiri berdiri. Daha merupakan singkatan dari Dahanapura, yang berarti kota api. Nama ini terdapat dalam bagian atas prasasti Pamwatan (Pamotan) yang dikeluarkan Airlangga tahun 964 Saka atau tepatnya 19 Desember 1042 Masehi yang merupakan prasasti akhir dari pemerintahan Raja Airlangga. Hal ini tentu sesuai dengan berita dalam Serat Calon Arang bahwa, saat akhir pemerintahan Airlangga, pusat kerajaan sudah tidak lagi berada di Kahuripan, melainkan pindah ke Daha.


Pada akhir November 1042, Airlangga terpaksa membelah wilayah kerajaannya karena kedua putranya bersaing memperebutkan takhta. Putra yang bernama Sri Samarawijaya mendapatkan kerajaan barat bernama Panjalu yang berpusat di kota baru, yaitu Dahana(pura). Sedangkan putra yang bernama Mapanji Garasakan mendapatkan kerajaan timur bernama Janggala yang berpusat di kota lama, yaitu Kahuripan.
Menurut Nagarakretagama, sebelum dibelah menjadi dua, nama kerajaan yang dipimpin Airlangga sudah bernama Panjalu, yang berpusat di Daha. Jadi, Kerajaan Janggala lahir sebagai pecahan dari Panjalu. Adapun Kahuripan adalah nama kota lama yang sudah ditinggalkan Airlangga dan kemudian menjadi ibu kota Janggala.

Pada mulanya, nama Panjalu atau Pangjalu memang lebih sering dipakai dari pada nama Kadiri. Hal ini dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti yang diterbitkan oleh raja-raja Kadiri. Bahkan, nama Panjalu juga dikenal sebagai Pu-chia-lung dalam kronik Cina berjudul Ling wai tai ta (1178).

Jeng Asih, Ratu Pembuka  Aura dari Gunung Muria




Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
        08129358989 – 08122908585     

          

Kembang Lampir, Tempat Pertapaan Pendiri Kerajaan Mataram

Pertapaan Kembang lampir
Pertapan Kembang Lampir merupakan tempat semedi atau tapa atau laku prihatin Ki Ageng Pemanahan saat mencari petunjuk mengenai wahyu keraton. Kedua keturunan Brawijaya V, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Ageng Giring III dalam rangka melaksanakan petunjuk Sunan Kalijaga berkelana mengunjungi tempat yang sekarang disebut Gunungkidul.

Ki Bagus Kacung, nama muda Ki Ageng Pemanahan lantas menempati lokasi yang sebutan awalnya Kembang Semampir, sementara Ki Ageng Giring III di Sodo, Paliyan. Meski berlainan tempat, keduannya mendapat petunjuk bahwa wahyu keraton terdapat di sebuah kelapa muda/ degan dengan sebutan Gagak Emprit dari pohon kelapa yang ditanam Ki Ageng Giring III.

Singkatnya, Ki Ageng Pemanahanlah yang meminum degan tersebut, maka keturunan dialah yang bertahta menjadi raja Kerajaan Mataram yang ia dirikan. Setelah keturunan ke-7, sesuai kesepakatan keduanya, barulah raja berikutnya berasal dari keturunan Ki Ageng Giring III.
Pertapan dijaga tiga juru kunci, yakni Surakso Sekarsari, Surakso Cempokosari, dan Surakso Puspitosari. Begitu dianggap penting oleh pihak keraton, sehingga pada tahun 1971-1977 (alm) Sri Sultan Hamengku Buwono IX melakukan pemugaran.
Tempat dengan suasana penuh ketenangan dan sejuk ini berada di Padukuhan Blimbing, Desa Girisekar, Kecamatan Panggang. Sekitar 1 km dari jalan raya, jalan menuju pertapan telah beraspal. Pertapan menempati sebuah bukit, sehingga untuk ke tempat utama pengunjung harus naik anak tangga hingga sampai ke puncak.
Pertapaan Kembang Lampir
“Tempat ini sangat disakralkan, sesuai pesan kraton, pengunjung tidak sembarangan bisa naik, ada beberapa peraturan yang harus ditaati,” kata salah satu juru kunci, Surakso Sekarsari atau nama aslinya Trisno Sumarto beberapa waktu lalu.
Beberapa larangan diantaranya, saat naik pengunjung tidak boleh memakai sandal, tidak boleh mengambil gambar atau memotret di lokasi utama, hanya diperbolehkan dari luar pintu gerbang atau dari bawah saja. Pengunjung yang akan naik maka harus membawa bunga dan dupa/ kemenyan serta tidak boleh memakai pakaian berwarna ungu terong dan hijau lumut.
“Yang jelas aturannya seperti itu, kalau warna baju itu mungkin supaya tidak sama dengan yang menjaga Pantai Parang Kusumo/ laut selatan,” ungkapnya tidak begitu yakin.
Ia tidak begitu banyak tahu terkait cerita mengenai Ki Ageng Pemanahan, ia mengaku hanya sebagai abdi dalem yang menjaga dan merawat pertapaan menggantikan kaket buyutnya. Yang ia tahu, Ki Ageng Pemanahan merupakan tokoh yang mendirikan kerajaan di sebuah alas yang sebelumnya disebut Mentaok. Tempat peristirahatan terakhir atau makamnya berada di Kota Gede.
Ia menuturkan, pembangunan pertapaan Kembang Lampir dilanjutkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X, sehingga beberapa fasilitas disediakan. Ada tempat istirahat juru kunci dan fasiltas lainnya seperti WC, kamar mandi, serta dapur. Terdapat pula bangunan lawas bekas tempat tinggal juru kunci pertama.
Lelaki ramah ini menyebutkan, waktu kunjungan tidak sama seperti pada tempat serupa secara umum lainnya. Artinya, tidak melulu pada malam Selasa Kliwon atau Jum’at kliwon saja, tetapi meski tidak bertepatan dengan hari-hari tersebut, terkadang pernah lebih ramai.
Begitu hening dan nyamannya suasana di area pertapan memang layak digunakan untuk menyendiri, merasakan desiran angin, menyatu dengan alam. Tak ayal, perkembangannya banyak orang mempercayai dan memanfaatkan lokasi ini juga untuk berdoa, menyendiri, sementara meninggalkan hiruk pikuk aktivitas, mengevaluasi diri, atau juga bertapa. Seperti kata si juru kunci, menjalani laku prihatin melatih ilmu olah batin.
“Biasanya menjelang pemilihan Bupati, Walikota, atau Gubernur. Tak hanya dari wilayah Pulau Jawa saja, dari luar juga banyak,” imbuh dia.
Bekas tempat bertapa Ki Ageng Pemanahan, terang dia, adalah semacam goa kecil di atas bukit. Di sekitar terdapat bangunan induk sebagai tempat penyimpanan pusaka Wuwung Gubug Mataram dan Songsong Ageng Tunggul Naga.
Pertapaan Kembang Lampir
“Ada juga dua buah bangsal atau pendapa kecil bernama Prabayeksa di sebelah kanan dan kiri. Dibangun pula patung Panembahan Senapati, Ki Ageng Pemanahan dan Ki Juru Mertani, menurut beberapa sumber sebagai pendiri dinasti Mataram Islam,” beber Trisno.
Sedangkan adanya pohon-pohon besar yang tumbuh di sekitar pertapan, sebagian besar ditanam oleh Sultan HB IX,  pohon tertua yang masih ada hingga saat ini yakni pohon Sawon.
Sembari menjalani aktivitasnya menjadi juru kunci, Surakso Sekarsari menggarap ladang tidak jauh dari tempatnya bertugas, sehingga ia mudah memantau apabila ada tamu atau pengunjung pertapan. Biasanya ia akan pulang setiap pagi, serta kembali lagi selepas pukul 08.00 WIB.  Meski tanpa jadwal yang mengatur secara rinci penugasan, dengan penuh kesadaran mereka bertiga bergantian menunggu Pertapaan Kembang Lampir. Bersama menjaga dan merawatnya.   


Jeng Asih, Ratu Pembuka  Aura dari Gunung Muria




Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan

08129358989 – 08122908585   

Wisata Ritual di Makam Kyai Raden Santri Gunung Pring


Makam Kyai santri Gunung Pring
Setelah runtuhnya kedhaton Majapahit yang ditandai dengan sengakalanSirna Ilang Kertaning Bhumi, maka putra-putri Brawijaya V juga menyebar ke berbagai daerah. Satu diantara pangeran tersebut bernama  Raden Bondan Kejawen. Dialah ayah dari Ki Ageng Getas Pendowo yang menurunkan Ki Ageng Selo. Nama terakhir ini terkenal sebagai tokoh legenda yang konon dapat menakhlukkan, bahkan menangkap petir dalam sebuah pertempuran yang sangat dahsyat hingga meninggalkan api abadi di daerah Mrapen. Dirinyalah pula yang menciptakan tombak Kyai Plered, sebuah pusaka yang kemudian secara turun-temurun menjadi piandel bagi dinasti Mentawisan.

Tombak sakti inilah yang kelak diturunkan kepada Ki Ageng Enis dan sampai kepada Ki Ageng Pemanahan dan Danang Sutawijaya. Di masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya di Pajang, terjadilah upaya kraman, perebutan hak waris atas tahta Demak, yang dilakukan oleh Arya Jipang atau dikenal pula sebagai Arya Penangsang.  Dalam suatu peperangan yang sangat sengit akhirnya tombak Kyai Plered berhasil disarangkan ke perut Arya Jipang hingga mbrodhol, terurai ususnya. Dan pemberontakan pun berhasil dipadamkan.

Atas jasa-jasa yang dilakukan Panglima Wiratamtama Ki Ageng Pemanahan dan Ki Penjawi dalam mengatur strategi menghadapi Arya Jipang, maka Sultan Hadiwijaya berkenan memberikan Alas Mentaok sebagai tanah perdikan kepada Ki Ageng Pemanahan, sedangkan Ki Penjawi mendapat hadiah yang sama di wilayah Pati. Alas Mentaok lambat laun berkembang menjadi daerah pertanian yang subur makmur, dan kemudian menjadi cikal bakal kerajaan Mataram Islam.

Tatkala Pajang surut, maka fajar kekuasaan menyingsing di bhumi Mataram. Danang Sutawijaya yang dikenal pula sebagai Ngabehi Loring Pasar atau Panembahan Senopati naik tahta menjadi raja pertama Mataram. Tatkala Mataram berkembang, salah seorang adik Panembahan Senopati yang bernama Pangeran Singosari,justru meminggirkan diri dari pusat kekuasaan. Semenjak awal ia memang lebih menekuni ilmu agama sebagaimana diajarkan Wali Songo ataupun para ulama setelahnya. Ia kemudian pergi mengembara dalam rangka ingin menyebarkan agama di pedalaman daerah Kedu.

Di sebuah tanah perbukitan sisi barat gunung Merapi adik Senopati tersebut menetap. Bukit yang tidak seberapa tinggi tersebut memiliki gerumbul rumpun bambu yang sangat lebat. Dari kejauhan nampaklah sebuah gunung yang diselubungi rumpun bambu. Itulah sebabnya daerah tempat tinggal Pangeran Singosari ini kemudian lebih dikenal dengan nama Gunung Pring. Karena Pangeran Singosari ingin benar-benar nyawiji, membaur dengan rakyat, maka ia justru sengaja menutupi identitas kepangeranannya. Karena ia dikenal alim dan pernah nyantri di pesantren, maka masyarakat sekitar menjulukinya dengan sebutan Raden Santri.

Kyai Raden Santri tergolong ulama awal yang menyebarkan agama di wilayah sekawan keblat gangsal pancer-nya gunung Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan deretan pegunungan Menoreh di sepanjang Kali Progo. Keturunan Kyai Raden Santri berturutan adalah Kyai Krapyak I, Kyai Krapyak II, Kyai Krapyak III, Kyai Harun, Kyai Abdullah Sajad, Kyai Gus Jogorekso, Raden Moch Anwar AS, Raden Qowaid Abdul Sajak, hingga Kyai Dalhar, dan termasuk Kyai Ahmad Abdulhaq. Anak keturunan Kyai Raden Santri inilah yang kemudian menjadi ulama penyebar dan menjadi tokoh agama Islam di wilayah Gunung Pring hingga saat ini. peran ini kini dilanjutkan melalui Pondok Pesantren Darussalam di Watucongol.

Makam Kyai Raden Santri dan anak cucunya kebanyakan berada di kawasan atas Gunung Pring dan kini menjadi tempat ziarah yang ramai dikunjungi ummat Islam dari berbagai penjuru tanah air.
Makam Kyai Gunung Pring
Kompleks makam Kyai Raden Santri terletak di sisi barat kota Muntilan, tepat di atas sebuh bukit yang sangat asri. Makam Gunung Pring secara administrasi berada di Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan, Kabupaten Magelang. Namun demikian, secara asal-usul sejarah kepemilikian, makam kompleks makam ini merupakan milik Keraton Ngayojakarta Hadiningrat di bawah Reh Kawedanan Hageng Sriwandowo bagian Puroloyo.

Memasuki kaki bukit sebagai akses masuk ke kompleks makam, pengunjung akan disambut terminal parkir dengan deretan ruko yang menjajakan berbagai peralatan ibadah maupun souvenir hasil kerajinan masyarakat setempat. Untuk naik ke atas bukit ada dua pilihan akses jalan berundak yang dapat dilalui, satu berada di sebelah Masjid Kyai Raden Santri melewati sisi timur, dan satu lagi melewati Mushola Raden Santri lewat sisi utara bukit. Gunung Pring merupakan sebuah bukit pendek yang dapat didaki dalam waktu tidak lebih dari 20 menit.

Menapaki anak tangga yang sedikit menanjak memang membutuhkan ekstra tenaga dan tarikan nafas. Namun sambil berjalan ke atas, kita akan disuguhi pemandangan sekitar yang sangat eksotis. Ada dataran kota Muntilan di sisi timur, gunung Merapi-Merbabu jauh di sebelah timur dan timur laut. Sementara di sebelah selatan terhampar daerah pertanian yang ijo royo-royo hingga batas pegunungan Menoreh. 



Jeng Asih, Ratu Pembuka  Aura dari Gunung Muria





Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 – 08122908585  

Mengagumi Keperkasaan Ksatia Aryo Penangsang, di Petilasan Kadipaten Jipang Panolan

 
Petilasan Kadipaten Jipang Panolan terletak di Desa Jipang Kecamatan Cepu kurang-lebih 45 Km disebelah Tenggara kota Blora. Petilasan ini merupakan peninggalan sejarah dan adat budaya Kerajaan Pajang. Terkenal dengan sebutan Kadipaten Jipang Panolan yang berkedudukan di Desa Jipang Kecamatan Cepu dan berada di pinggiran Bengawan Solo.Adipati Jipang Panolan yang terkenal bernama Arya Penangsang. 

Diberi nama Arya Penangsang karena pada waktu itu ayahnya yang bernama Pangeran Seda Lepen berperang melawan Sunan Prawata setelah sembahyang Jum’at di tepi bengawan sore dengan menggendong bayinya. Pangeran Seda Lepen pun tewas ditusuk Kyai Setan Kober. Sementara di sampingnya, anaknya yangtemangsang (tersangkut) di pinggir bengawan dipungut oleh Sunan Kudus. Karena anak itu temangsang di bengawan, maka oleh Sunan Kudus diberi nama Arya Penangsang.

Setelah Raden Patah berhasil meruntuhkan negara Hindu-Jawa Majapahit, segera ia menyempurnakan pembentukan negara Islam Demak, yang pembangunannya telah dimulai pada tahun 1475 ( Prof. Dr. Slamet Muljana,2005:193). Sehingga beralihlah kekuasaan Majapahit ke Demak. Ia memusatkan perhatiannya pada pembangunan negara Islam di Demak, dengan Demak sebagai pusatnya.   

Ketika Raden patah wafat (tahun 1518), Pati Unus menggantikannya menjadi Sultan, tetapi 3 tahun kemudian iapun meninggal. Ia terkenal juga dengan nama Pangeran Sabrang Lor.

Penyerahan tahta kerajaan mengalami kesulitan karena Pati Unus meninggal tanpa meninggalkan putra. Para putra Raden Patah mulai berebut kekuasaan. Raden Kikin alias Pangeran Seda Lepen lebih tua daripada Trenggana, tetapi ia lahir dari istri yang ketiga, sedangkan Trenggana lahir dari istri pertama.

Sultan Trenggono wafat atas perlawanannya dengan Portugis di Pasuruhan. Ini terjadi pada tahun 1546 (Drs. Edy Purwito, Drs. Kuswanto, Drs. Suparman, 1994: 158). Wafatnya Sultan Trenggana menimbulkan kekacauan politik yang hebat. Negeri-negeri bagian (kadipaten) masing-masing melepaskan diri dan tidak mengakui lagi kekuasaan pemerintahan pusat di Demak. Di Demak sendiri para ahli waris saling berebut tahta sehingga timbullah perang saudara yang hebat. 

Setelah Sultan Trenggana wafat, kekuasaan tidak diberikan kepada keturunan Raden Patah tetapi kepada menantunya yang bernama Hadiwijaya. Menurut babad dan Serat Kandha, sesudah meninggalnya Sultan Trenggana, saudara laki-lakinya, Pangeran Seda Lepen, dibunuh atas perintah Susuhunan Prawata. Abdi-abdi pangeran tua itu kemudian membunuh orang yang telah menewaskan majikannya itu (Babad Tanah Djawi, jil.IV, hlm. 12 danSerat Kandha, Codex Lor 6379, jil. 9). Seda Lepen (meninggal di sungai) adalah nama pangeran itu, yang diberikan sesudah ia meninggal. 


Arya Penangsang tidak terima atas kematian ayahnya. Dia merasa sakit hati karena hak yang seharusnya milik dia dan ayahnya telah dilangkahi oleh  Sultan Trenggana. Kejengkelannya bertambah besar ketika ia mengetahui bahwa Pangeran Prawata, sebelum menjadi susuhunan yang keramat, memerintahkan pesuruhnya, Surayata, membunuh ayah Arya Penangsang, Pangeran Seda Lepen, ”sewaktu pulang dari sembahyang Jum’at”.

Jadi, Prawata tidak hanya merebut kedudukan, yang menurut hak harus diwariskan kepada Arya Penangsang, tetapi juga menyuruh orang membunuh ayah Arya Penangsang. Maka, mudah dimengerti jika sejak itu Arya Penangsang akan menggunakan jalan apa pun, tidak hanya untuk membalas dendam, tetapi juga merebut kekuasaan. Karena itu, ia berusaha agar semua keturunan dan kerabat Sultan Trenggana yang bisa menuntut hak untuk turut memimpin negara dihancurkan, terutama yang berkerabat paling dekat. Dalam hal ini ialah putra-putri dan para menantu Sultan Trenggana, yakni Pangeran (Sunan) Prawata, Pangeran Kalinyamat dan akhirnya Raden Jaka Tingkir, Raja Pajang yang juga kawin dengan salah seorang putri Trenggana.

Setelah menerima anjuran Sunan Kudus, Pangeran Arya Penangsang mengirim salah satu seorang penjagakeputren, Rangkud, untuk membunuh Sunan Prawata. Di Prawata, Rangkud menemukan Raja dalam keadaan sakit bersandar pada permaisurinya. Sunan bertanya,”Siapakah kau ini?”. Dan tanpa rasa malu Rangkud memberitahukan maksud kedatangannya yang dijawab Sunan,”Silakan, tetapi biarlah aku sendiri saja yang kau bunuh ......” Rangkud menjawab dengan satu tusukan menusuk Raja dan permaisurinya sekaligus. Dengan kekuatan yang masih tersisa, Sunan yang hampir tewas itu melemparkan kerisnya, Kiai Betok, pada pembunuh itu. Kulit Rangkud tergores sedikit (menurutSerat Kandha : kakinya). Tetapi, goresan sebuah keris sakti cukup membuat penjahat itu tewas. Sunan Prawata dan permaisurinya pun tewas.

Arya Penangsang membunuh Sunan Prawata untuk balas dendam karena jika Pangeran Seda Lepen tidak dibunuh, maka beliaulah yang berhak menggantikan kedudukan Raden Patah sebagai Raja Demak. Dengan demikian dialah yang kelak berhak mewarisi tahta dinasti Kerajaan Demak, karena dia keturunan laki-laki dari anak laki-laki Raden Patah. 

Saudara perempuan Sunan Prawata, Ratu Kalinyamat, tidak tinggal diam atas pembunuhan terhadap kakaknya. Karena tidak tahu bahwa Sunan Kudus juga terlibat dalam pembunuhan itu, maka ia pergi bersama suaminya menghadap tokoh keramat ini untuk meminta pengadilan, tetapi tidak diperolehnya secara memuaskan. Dalam perjalanan pulang keduanya diserang oleh para abdi Arya Penangsang. Pangeran Kalinyamat terbunuh. Adapun Arya Penangsang juga membunuh Pangeran Kalinyamat karena beliau juga merupakan ancaman bagi dirinya untuk meraih haknya atas tahta Kerajaan Demak. 

Petilasan Aryo Penangsang
Hal ini karena di samping beliau orangnya cakap, bibinya, yaitu Ratu Kalinyamat, walaupun seorang perempuan juga sangat cakap. Terbukti sepeninggal suaminya, (Pangeran Kalinyamat), beliau menjadi pusat keluarga Demak yang sudah tercerai berai. Beliaulah yang mengasuh dan mengurusi seluruh keluarga. Selain itu, walaupun hanya seorang janda, beliau mampu merajai kota pelabuhan Jepara dengan sukses. 

Sebagai protes terhadap kelakuan Arya Penangsang, janda Pangeran Kalinyamat bertapa telanjang di gunung Danaraja. Hanya rambutnya yang terurai yang menjadi pakaiannya (H.J. De Graaf, 1985:37). Ia tidak akan berhenti bertapa sebelum Arya Penangsang Jipang berhasil dibunuh. Nyi Ratu Kalinyamat mengundangkan sayembara: barang siapa dapat membunuh Arya Penangsang Jipang, akan menerima segala harta benda miliknya, daerah Prawata dan Kalinyamat. Nyi Ratu Kalinyamat sanggup menyerahkan dirinya kepadanya. Kabar itu didengar oleh Jaka Tingkir. Karena Nyi Ratu Kalinyamat adalah iparnya, maka Jaka Tingkir  sanggup membalaskan kematian Pangeran Kalinyamat.

Kebetulan waktu itu Arya Penangsang dan Hadiwijaya dipanggil menghadap Sunan Kudus untuk mewariskan ilmu yang terakhir. Diceritakan, Arya Penangsang datang terlebih dahulu dulu ke Kudus, sebelum Hadiwijaya datang ke sana.  Sunan Kudus berpesan, jangan sampai Arya Pennagsang menduduki kursi yang sudah ia taburirajahkalacakra, sebab siapa saja yang duduk di kursi tersebut, dia akan nemoni apes (menemui kemalangan).

Hadiwijaya kemudian datang ke kediaman Sunan Kudus. Arya Penangsang mempersilahkan Hadiwijaya duduk di kursi yang sudah ditaburi rajahkalacakra. Namun Hadiwijaya menolak hingga akhirnya Arya Penangsang jengkel dan ia menduduki sendiri kursi yang sudah ditaburi rajahkalacakra.

Kerabat Keraton Sowan di Petilasan Aryo Penangszang
Kemudian terjadi adu mulut antara Arya Penangsang dan Hadiwijaya. Arya Penangsang merasa panas ketika Hadiwijaya mengejek Kyai Setan Kober miliknya. Menurut Hadiwijaya pusaka itu hanya pantas untukcuthik enjet (pengungkit enjet untuk menginang) atau iris-iris (mengiris-iris) brambang. Ketika keduanya memanas Sunan Kudus berteriak,”Wrangkakna (Sarungkan) pusakamu”. Baik Hadiwijaya maupun Arya Penangsang menurut. Kemudian Hadiwijaya pulang ke Pajang. Ternyata kata Wrangkakna yang diucapkan Sunan Kudus mempunyai maksud untuk menyuruh Arya Penangsang agar menusukkan Kyai Setan Kober ke dada Hadiwijaya. Karena Arya Penangsang sudah menduduki kursi yang ber- rajahkalacakra, Sunan Kudus memberi penyelesesaian agar Arya Penangsang berpuasa 40 hari.

Sementara itu Jaka Tingkir atau Hadiwijaya telah mengumumkan akan menghadiahkan tanah Pati dan Mataram kepada barangsiapa yang dapat mengalahkan Arya Penangsang, tetapi tidak seorang pun yang berani. Sementara di rumah Kiai Gede Pemanahan. Atas nasihat Ki Juru Martani, yang mengemukakan rencananya yang cerdik, Kiai Gede Pemanahan dan Ki Panjawi maju menawarkan diri. Tanpa bantuan orang lain kecuali keluarganya sendiri, Kiai Gede Pamanahan berjanji akan melakukan perlawanan. Setelah itu pasukan mereka berbaris menuju Caket dengan kekuatan 200 orang.

Di sana mereka menangkap perumput dari istana Panangsang yang sedang mencari rumput untuk kuda Gagak Rimang. Dengan imbalan 15 rial satu telinga perumput itu diiris, sedangkan pada telinga lainnya diikatkan surat tantangan yang bernada ejekan. Dalam keadaan demikianlah perumput yang malang itu kembali ke istana. Perumput itu sampai istana ketika Arya Penangsang sedang menunggu waktu berbuka puasa terakhirnya yang beberapa jam lagi selesai. 

Namun atas kedatangan surat tantangan dari Hadiwijaya yang berisikan kalau memang Arya Penangsang berani, ia ditunggu di Bengawan Sore dan ditantang untuk berperang tanding satu lawan satu. Patih Metaun berusaha menahan Arya Penangsang untuk tidak pergi dan menunggu sampai puasanya benar-benar berakhir. Kedatangan perumput yang teraniaya beserta surat penghinaan itu memang benar-benar membuat marah Arya Penangsang yang baru saja duduk di meja makan. Karena marahnya, tangannya yang sedang mengepal nasi memukul piringnya sampai pecah.


Kakaknya, Aria Mataram, berusaha meredakannya. Tetapi, Arya Penangsang sudah lari menghilang di atas kuda Gagak Rimang, sambil melecutnya sekeras-kerasnya. Sementara itu, Ki Mataun yang sakit asma mengikutinya dengan napas terengah-engah dan tidak dapat menyusulnya.

Dengan gagah dan berani Arya Penangsang yang sedang menunggang kuda telah berada di pinggir Bengawan Sore. Arya Penangsang menyerukan kata-kata ejekan dan tantangan. Rupanya ia tidak sadar, emosi tela manutup ingatan atas pesan Sunan Kudus bahwa siapa saja yang mrnyrberangi sungai itu akan kalah dalam perangnya. Semula Arya Penangsang mengira bahwa yang akan ditandinginya adalah Hadiwijaya. Namun ternyata yang ia jumpai disana adalah putra dari Kyai Gede Pamanahan yang bernama Sutawijaya. Sutawijaya melindungi dirinya dengan bersenjatakan tombak Kyai Plered yang merupakan salah satu pusaka dari kerajaan Demak. 
Petilasan Aryo Penangsang

Sementara itu dengan taktik liciknya, Ki Juru Martani melepaskan seekor kuda betina yang sudah dibersihkan bulu-bulu disekitar kemaluannya. Hal ini ia lakukan untuk memancing kuda Gagak Rimang Arya Penangsang yang sedang dalam masa birahi. Setelah kuda betina tersebut dilepas, kuda jantan Arya Penangsang menjadi liar. Arya Penangsang pun terjatuh dari kudanya. Sutawijaya yang telah siap segera menombak perut Arya Penangsang dengan tombak Kyai Plered. Tombak yang sakti itu seketika merobek perut Arya Penangsang sampai ususnya tertarik dan keluar dari perut. 

Dalam keadaan yang sudah parah itu. Arya Penangsang masih dapat mempertahankan hidupnya. Dengan sigap Arya Penangsang segera meraih ususnya yang keluar kemudian melilitkannya pada keris Kyai Setan Kober. Pertempuran hebat antara Arya Penangsang dan Sutawijaya pun dilanjutkan. 

Dengan kekuatan yang masih tersisa Arya Penangsang berusaha untuk memenangkan pertempuran itu. Namun keemosian yang tinggi menyebabkan Arya Penangsang kalah dengan sendirinya. Karena terlanjur emosi dan berhasrat tinggi untuk segera membunuh Sutawijaya, Arya Penangsang mengunus keris yang telah ia gunakan untuk melilitkan ususnya. Sehingga, usus yang dililitkan ke keris itu pun hancur dan Arya Penangsang meninggal pada waktu itu juga.  

                                                
                                   Jeng Asih, Ratu Pembuka  Aura dari Gunung Muria






 Info & pemesanan:
Padepokan Metafisika Jeng Asih
Jl. Diponegoro 72, Pati – Jawa Tengah 
Jl. Melawai Raya 17, Blok M – Jakarta Selatan
08129358989 – 08122908585